Eligibilitas Guru Dalam Menghadapi Proses Pendidikan Instan Bagi Peserta Didik

Latar Belakang
Ephoria trend masyarakat dalam memilih tempat pendidikan bagi anak-anaknya,tidak lagi bisa dibendung, meskipun harus beaya tinggi. Sampai-sampai sebagian sekolah Negeri yang dulunya menjadi satu-satunya pilihan, kini bernasib tidak ada murid. Para orang tua beramai-ramai mencari sekolah unggul, sekolah terpadu, Favorit dan semacamnya. Propaganda sekolah yang berpredikat "disamakan" atau diakui sampaipun Negeri, tidak lagi menjadi pemikat masyarakat orang tua dan anak-anak mereka. perlahan-lahan gulung tikar.
Anehnya, yang mengomandani dan membidani kelahiran sekolah-sekolah unggulan dan terpadu adalah para guru dan pendidik, ada juga yang bergandengan dengan pengusaha. Bagi orang awam, fenomena ini tidak begitu menarik, bahkan menjadi kebanggaan tersendiri bila anaknya "terperosok" pada persoalan yang sesungguhnya akan berakibat serius bagi masa depan anak. Dikatakan serius, karena ketidaksadaran orangtua menyiapkan masa depan generasi bangsa. Guru dan pendidikpun tanpa menyadari, apa sesungguhnya terjadi. Bahwa kelak akan menyisakan PR bagi masa depam. Pepatah mengatakan 'Almudarrisu Ahammu mina-t-thoriqoh, wa ruhul-mudarris ahammu kullasyyai'. Inilah yang ingin saya ulas dibalik fenomena bermunculan lembaga –lembaga pendidikan bermerk unggul, sebagai sebuah tantangan karena adanya keterlibatan guru yang memiliki eligibilitas, ikut 'meramaikan' semangat di era Globalisasi.


Tantangan Tren Pendidikan Unggulan
Sekarang ini, banyak sekolahan, yang guru-gurunya berlomba agar anak didiknya diakhir belajar mencapai prestasi akademik yang super, sehingga imege publik mengatakan bahwa sekolah ini telah berhasil mendidik, dan masyarakat meyakini untuk senang memasukkan anaknya di lembaga tersebut. Ternyata anggapan ini tidak selamanya benar, ada ucapan pendidik dilupakan: “Intellegence plus Character, That is the goal of True Education - Kecerdasan plus karakter/moral, adalah tujuan sejati dari Pendidikan”(Dr.MartinLutherKing,Jr).
Bukan hanya otak kiri, otak kanan pun harus dikembangkan. Bukan hanya kecerdasan intelektual, kecerdasan moral, kecerdasan spiritual, serta karakter merupakan output yang lebih penting lagi dari Pendidikan. Knowledge is power, but character is more.
Mensikapi gejala tren semacam ini, seharusnya penyambung peradaban (baca:guru) memberitahu orang tua untuk menyadari bahwa tujuan utama dari anak-anaknya berproses dan berjuang melalui (lembaga) pendidikan adalah untuk menjadi lebih saleh, jujur, kreatif, kritis, serta bermanfaat bagi sesama. Menyadari akan perlunya Pendidikan yang dapat menjadikan orang-orang yang dengan ilmu yang diraihnya ingin lebih mengutamakan manfaat (dan tercapainya keadaan yang lebih baik) bagi manusia dan kemanusiaan. Pendidikan yang mementingkan minat, bakat dan manfaat ilmu, bukan yang lebih didasari motivasi ‘komersial’ Semuanya dilakukan demi posisi ekonomi yang lebih baik di masa depan. Karena dianggapnya kedudukan ekonomi yang baik menjanjikan perbaikan pula di bidang lain : sosial, budaya,hukum, dan politik.

Kenyataanya, tujuan pendidikan perlahan-lahan terselewengkan oleh guru/pendidik berbaju 'pengusaha'. Kita terlalu membiarkan politisasi dan komersialisasi pendidikan terus merajalela. anak-anak, generasi muda bangsa kita terus kian terseret-seret arus globalisasi. Jangan biarkan generasi penerus kita menjadi ‘Anak-anak Karbitan’.
Anak-anak Karbitan, Anak-anak yang digegas Menjadi cepat mekar, Cepat matang Cepat layu... begitu kira-kira kalau diperumpamakan sekuntum bunga. Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana mana orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga persekolahan yang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan anak-anak mereka pelayanan pendidikan yang baik. Taman kanak-kanak pun berdiri dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa. Kursus-kursus kilat untuk anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang puluhan ribu hingga jutaan rupiah per bulannya. Dari kursus yang dapat membuat otak anak cerdas dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat dan sehat melalui kegiatan menari, main musik dan berenang. Dunia pendidikan saat ini betul-betul penuh dengan denyut kegairahan. Penuh tawaran yang menggiurkan yang terkadang menguras isi kantung orangtua.
Kondisi dunia pendidikan yang menggiurkan ini terlihat biasa-biasa saja bagi orang awam. Namun apabila kita amati lebih cermat, dan kita baca berbagai informasi di intenet dan lileratur yang ada tentang bagaimana pendidikan yang patut bagi anak usia dini, maka kita akan terkejut! Saat ini hampir sebagian besar penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak usia dini melakukan kesalahan. Di samping ketidak patutan yang dilakukan oleh orang tua akibat ketidaktahuannya!
Bilamana ini sebuah tantangan, coba sama-sama kita perhatikan Anak-Anak Yang Digegas proses pendidikannya. Adanya beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadap anak. Di antaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuan intelektual secara dini. Akibatnva bermunculanlah anak-anak ajaib dengan kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untuk menjalani akselerasi dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan kecakapan-kecakapan akademik di dalam dan di luar sekolah.
Pada tahun 1930, dimuat kisah tentang seorang anak pintar karbitan seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra scorang psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya dibidang matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian? James Thurber seorang wartawan terkemuka. pada suatu hari menemukan seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum pada bcberapa waktu silam.
Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi pada scorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952, dimana seorang Ibu yang bemama Aaron Stern telah berhasil melakukan eksperimen menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangankognitif anaknya sejak si anak masih benapa janin. Baru saja bayi itulahir ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang bayi. Kemudian diajak berbicara dengan mcnggunakan bahasa orang dewasa. Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan kosa kata baru. Hasilnya sungguh mencengangkan! Di usia 1 tahun Edith telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun Edith telah menyelesaikan membaca ensiklopedi Britannica. Usia 6 tahun ia membaca enam buah buku dan Koran New York Times setiap harinya. Usia 12 tahun dia masuk universitas. Ketika usianya menginjak 15 lahun la menjadi guru matematika di Michigan State University. Aaron Stem berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga. Namun khabar Edith selanjutnya juga tidak terdengar lagi ketika ia dewasa.
Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia mcnjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa. Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang terkenal yang berhasil mengguncang dunia dengan pcnemuannya. Di saat mereka kecil mereka hanyalah anak-anakbiasa yang terkadang juga dilabel sebagai murid yang dungu. Seperti halnya Einsten yang mengalami kesulitan belajar hingga kelas 3 SD. Dia dicap sebagai anak bebal yang suka melamun.
Otak memang memiliki kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itu banyak orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan "EarlyChildhood Training". Era pemberdayaan otak mencapai masa keemasanmya. Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang super (Superkids).. Hal ini terjadi sekarang dimana-rnana, di Indonesia.
"Early Ripe, early Rot...!"
Gejala ketidakpatutan dalam mendidik yakni pada Orangtua, merasa apabila mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka berhitung, membaca dan menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan"peluang emas" bagi anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan anak-anak mereka sesegera mungkin ke Taman Kanak-Kanak (Pra Sekolah).Taman Kanak-kanak pun dengan senang hati menerima anak-anak yang masih berusia di bawah usia 4 tahun. Kepada anak-anak ini gurunya membelajarkan membaca dan berhitung secara formal sebagai pemula.
Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amcrikasudah dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957.Mulailah "Era Headstart" merancah dunia pendidikan. Para akademisi begitu optimis untuk membelajarkan wins dan matematika kepada anak sebanyak dan sebisa mereka (tiada berhingga). Sementara mereka tidak tahu banyak tentang anak, apa yang mereka butuhkan dan inginkan sebagai anak.

Tidak Memahami anak; sebagai Bencana Pendidikan
Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan pernyataan JeromeBruner, seorang psikolog dari Harvard University yang menulis sebuah buku terkenal " The Process of Education" pada lahun 1960, la menyatakan bahwa kompetensi anak untuk belajar sangat tidak berhingga. Inilah buku suci pendidikan yang mereformasi kurikulum pendidikan di Amerika. "We begin with the hypothesis that any subject can be taughteffectively in some intellectually honest way to any child at anystage of development". Inilah kalimat yang merupakan hipotesis Bruner yang di salahartikan oleh banyak pendidik, yang akhirnya menjadi bencana! Pendidikan dilaksanakan dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang dan cepat busuk... early ripe, early rot!
Bencana berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep"kesiapan-readiness " dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang "biologicallimitiions on learning'.
Tekanan yang bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di sekolah membuat anak¬anak menjadi cepat mekar. Anak -anak menjadi"miniature orang dewasa ". Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang dewasa, berlaku pun juga seperti orang dewasa. Di sisi lain media pun merangsang anak untuk cepat mekar terkait dengan musik,buku, film, televisi, dan internet. Lihatlah maraknya program teve yang belum pantas ditonton anak-anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari.
Tapi apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak? Apakah faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan seperti halnya kecerdasan? Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu dan ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit. Bisa saja anak terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan mereka tidak seperti orang dewasa.
Dampak Berikutnya Terjadi ketika anak memasuki usia remaja. Akibat negatif lainnya dari anak-anak karbitan terlihat ketika ia memasuki usia remaja. Mereka tidak segan-segan mempertontonkan berbagai macam perilaku yang tidak patut. Patricia 0' Brien menamakannya sebagai "The Shrinking of Childhood'. " Lu belum tahu ya... bahwa gue telah melakukan segalanya", begitu pengakuan seorang remaja pria berusia 12 tahun kepada teman-temannya. "Gue tahu apa itu minuman keras, drug, dan seks " serunya bangga.
Berbagai kasus yang terjadi pada anak-anak karbitan memperlihatkan bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak akan menyebabkan berbagai gangguan kepribadian dan emosi pada anak. Oleh karena ketika semua menjadi cepat mekar.... kebutuhan emosi dan sosial anak jadi tak dipedulikan! Sementara anak sendiri membutuhkan waktu untuk tumbuh,untuk belajar dan untuk berkembang, .... sebuah proses dalam kehidupannya !

Era Superkids
Kecenderungan orangtua menjadikan anaknva "be special " daripada "beaverage or normal semakin marak terlihat. Orangtua sangat ingin anak-anak mereka menjadi "to exel to be the best". Sebetulnya tidak ada yang salah. Namun ketika anak-anak mereka digegas untuk mulai mengikuti berbagai kepentingan orangtua untuk menyuruh anak merekamengikuti beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa, renang, basket, balet, tari ball, piano, biola, melukis, dan banyak lagi lainnya...maka lahirlah anak-anak super---"SUPERKIDS' ". Cost merawat anak supcrkids ini sangat mahal.
Era Superkids berorientasi kepada "Competent Child". Orangtua saling berkompetisi dalam mendidik anak karena mereka percaya "earlier is better". Semakin dini dan cepat dalam menginvestasikan beragam pengetahuan ke dalam diri anak mereka, maka itu akan semakin baik.
Kondisi ketidakpatutan dalam memperIakukan anak ini telah melahirkan erbagai gaya orangtua (Parenting Style) yang melakukan kesalahan-"miss education" terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya. Elkind (1989) mengelompokkan berbagai gaya orangtua dalam pengasuhan,antara lain:
1)Gourmet Parents-- (ORTU B0RJU)
2)College Degree Parents --- (ORTU INTELEK)
3)Gold Medal Parents --(ORTU SELEBRITIS)
4)Outward Bound Parents--- (ORTU PARANOID)
5)Prodigy Parents --(ORTU INSTANT)
6)Encounter Group Parents--(ORTU NGERUMPI).
7)Milk and Cookies Parents-(ORTU IDEAL)

Perspektif Sekolah yang mengkarbit anak
Kecenderungan sekolah untuk melakukan pengkarbitan kepada anak didiknya juga terlihat jelas. Hal ini terjadi ketika sekolah berorientasi kepada produk daripada proses pembelajaran. Sekolah terlihat sebagai sebuah "Industri" dengan tawaran-tawaran menarik yang mengabaikan kebutuhan anak. Ada program akselerasi, ada program kelas unggulan. Pekerjaan rumah yang menumpuk. Tugas-tugas dalam bentuk hanya lembaran kerja. Kemudian guru-guru yang sibuk sebagai "Operator kurikulum" dan tidak punya waktu mempersiapkan materi ajar karena rangkap tugas sebagai administrator sekolah Sebagai guru kelas yang mengawasi dan mengajar terkadang lebih dari 40 anak, guru hanya dapat menjadi "pengabar isi buku pelajaran " ketimbang menjalankan fungsi edukatif dalam menfasilitasi pembelajaran. Di saat-saat tertentu sekolah akan menggunakan "mesin-mesin dalam menskor" capaian prestasi yang diperoleh anak setelah diberikan ujian berupa potongan-potongan mata pelajaran. Anak didik menjadi dimiskinkan dalam menjalani pendidikan di sckolah. Pikiran mereka diforsir untuk menghapalkan atau melakukan tugas-tugas yang tidak mereka butuhkan sebagai anak. Manfaat apa yang mereka peroleh jika guru menyita anak membuat bagan organisasi sebuah birokrasi ?
Lihatlah, mereka semua belajar dengan cara yang sama. Membangun 90% kognitif dengan 10 % afektif. Paulo Freire mengatakan bahwa sekolah telah melakukan "pedagogy of the oppressed" terhadap anak-anak didiknya. Dimana guru mengajar anak diajar, guru mengerti semuanya dan anak tidak tahu apa-apa, guru berpikir dan anak dipikirkan, guru berbicara dan anak mendengarkan, guru mendisiplin dan anak didisiplin, guru memilih dan mendesakkan pilihannya dan anak hanya mengikuti, guru bertindak dan anak hanya membayangkan bertindak lewat cerita guru, guru memilih isi program dan anak menjalaninya begitu saja, guru adalah subjek dan anak adalah objek dari proses
habisan sebagai masalah kemanusiaan terbesar. Belum lagi persaingan antarsekolah. dan persaingan ranking wilayah....

Tunaikan Kewajiban, menuai hak
Dalam mendidik anak di era modern, tidak perlu guru genius. Thomas Edison mengatakan bahwa "genius is 1 percent inspiration and 99 percent perspiration ". Semangat belajar ---"encourige' - Tidak dapat muncul tiba-tiba di diri anak. Perlu proses yang melibatkan hati---kesukaan dan kecintaan--- belajar_ Sementara di sekolah banyak anak patah hati karena gurunya yang tidak mencintai mereka sebagai anak., Yang lebih urgen barangkali adalah merumuskan misi sekolah/lembaga pendidikan.
Selanjutnya misi sekolah yang paling fundamental adalah mengalirkan "moral litermy" melalui pendidikan akhlak/karakter. Kita harus ingat bahwa kecerdasan saja tidak cukup. Kecerdasan plus karaktcr inilah tujuan sejati sebuah pendidikan (Martin Luther King, Jr). Dalam Islam, ada tga sintesa, Spiritual, kecerdasan dan skill.lnilah keharmonisan dari pendidikan, bagaimana menyeimbangkan fungsi otak kiri dan kanan, antara kecerdasan hati dan pikiran, antara pengetahuan yang berguna dengan perbuatan yang baik, akhirnya terwujud jiwa pendidikan.
Mengembalikan jiwa pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang terang hati dan terang pikiran--- "good and smart "--- merupakan tugas kita bersama. Melakukan reformasi dalam pendidikan merupakan kerja keras yang mesti dilakukan secara serempak, antara sekolah dan masyarakat, khususnya antara guru dan orangtua. Pendidikan yang ada sekarang ini banyak yang tidak berorientasi kepada kebutuhan anak sehingga tidak dapat memekarkan segala potensi yang dimiliki anak. Atau pun jika ada yang terjadi adalah ketidakseimbangan yang cenderung memekarkan aspek kognitif dan mengabaikan faktor emosi.
Segala Persoalan diatas, sudah barang tentu ada yang mengalamatkan kesalahan pendidkan kepada Guru atau Pendidik. Karena ketidakberdayaan pendidik dalam memahami pujuan pendidkan dan potensi anak. Sehingga kelak, anak-anak akan menjelma seorang dewasa, akan menjadi seperti orang tua mereka, yang sama sekali tidak memiliki motivasi mendidik, mengajar, mengasuh apalagi ingin jadi guru.
Ketidakmampuan Guru/Pendidik dalam menghadapi berbagai persolan pendidikan, atau kesalahan orientasi pendidikan, tanpa disadari ternyata telah menjerumuskan orientasi orangtua anak bersekolah. Motivasi kebanyakan guru tidak lagi idealisme pendidikan, akan tetapi lebih kepada persoalan materi, katakanlah uang.
Era global memang ditandahi banyak dengan kehadiran industri, materi, ekonomi dengan difasilitasi teknologi informasi yang cukup canggih. Teknologi yang serba profit ini, tentunya menyeret dunia pendidikan(guru/pendidik) berprilaku lebih mengutamakan pendapatan daripada pemberian. Lebih memprioritaskan kerja daripada memberikan Ilmu dan pendidikan kepada anak.
UU.No.14 Tahun 2005, diterbitkan sebatas memberi rambu-rambu sebagai guru dan Dosen. Sementara pendapatan/ gaji guru lebih meningkat daripada tahun sebelumnya. Terlepas dari dorongan politik, kesejahteraan Guru relatif lebih baik. Namun, profesi guru tidaklah sepopuler profesi lain. Kewibawaan guru semakin luntur. Faktanya, Tidak banyak anak pejabat tinggi yang mau jadi Guru. Pekerjaan sebagai guru kalah dengan Politisi maupun pilisi. Ironisnya, sudah demikian tidak banyak diminati oleh generasi sekarang, citra guru diperparah dengan mental guru itu sendiri. Guru tidak lagi bisa di gugu dan ditiru.
Coba saksikan, pengalaman mengawas ujian EBTANAS, di setiap sekolah, beberapa guru justru yang melakukan pembocoran soal (Kompas, 2007). Hampir-hampir tidak mempunyai motivasi mengajar, tidak memiliki kepribadian guru, yang direbut adalah finansial. Pembocoran soal dilakuka melewati SMS dan ada yang memberikan copy jawaban secara terang-terangan(KS, 2008). Benar-benar nyata potret era global menandai kehidupan pendidikan kita. Lalu guru manakah yang bisa diharapkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan kita yang masih jauh dari harapan.
Dari fakta di atas tampak, betapa susahnya mendambakan seorang guru, seorang pendidik yang memiliki panggilan jiwa, memahami anak dan orientasi pendidikan anak. Bukti ini tidak banyak menyentuh ditempat-tempat yang mapan,stabil, dan kondosif geografinya. Coba sejenak kita palingkan ke daerah-daerah yang jauh dari kota-kota besar. Sudah dipastikan, tidak ada guru yang memiliki kompetensi dan memenuhi kebutuhan masyarakat setempat, Tanpa bermaksud membuat simplifikasi persoalan yang telah dipaparkan, ketidakpopuleran profesi guru sekarang ini disebabkan rendahnya profesionalitas mengajar dan tingkat kesejahteraan. Kemampuan (kompetensi) profesional mencakup kompetensi kepribadian, bidang studi, dan pendidikan (pengajaran). Moralitas dan aktualisasi diri adalah bagian dari kompetensi kepribadian, sedangkan pemahaman karekteristik dan isi bahan mengajar merupakan bagian dari kompetensi bidang studi. Sementara hal-hal yang berkaitan dengan kompetensi pendidikan (pengajaran) adalah pemahaman guru akan karakteristik anak didik berikut perkembangannya, pemahaman konsep-konsep pendidikan, metodologi pengajaran, dan penguasaan sistem evaluasi (Suparno, 2003: 47-53). Seharusnya, guru yang ideal adalah memberikan pengalamannya yang maksimal kepada anak-anak dengan segala ketulusan, otomatis akan mendapatkan segala apa yang akan direngkuh.
Baca Juga :